Beranda | Artikel
Adab Penuntut Ilmu
Selasa, 19 November 2024

Adab Penuntut Ilmu adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan Kitab Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim fi Adabil ‘Alim wal Muta’allim. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Dr. Emha Hasan Ayatullah pada Sabtu, 14 Jumadil Awal 1446 H / 16 November 2024 M.

Kajian Islam Tentang Adab Penuntut Ilmu

Seorang thalibul ilmi (penuntut ilmu) perlu memperhatikan adab, baik ketika belajar, berhadapan dengan gurunya, menghadiri majelis, maupun dalam memperlakukan kitabnya. Hal ini bisa menjadi sebab datangnya keberkahan. Sebaliknya, jika seseorang mengabaikan adab tersebut, bisa jadi ia terhalang dari memperoleh ilmu yang bermanfaat.

Bukan berarti kita harus mengkultuskan guru, kawan, atau buku yang sedang dibahas. Namun, sebagian orang menunjukkan rasa hormat dengan menjaga kitab, seperti memperlakukannya dengan hati-hati. Bahkan, ada yang sampai mencium mushaf berkali-kali jika mushaf tersebut jatuh, meskipun tidak ada dalil yang mewajibkan hal itu. Di sisi lain, ada pula orang yang mengabaikan mushaf, misalnya melemparkannya begitu saja ketika hendak shalat. Ketika ditanya, mereka menjawab, “Tidak ada dalilnya.”

Subhanallah, para ulama tidak bersikap seperti itu. Mereka sangat menghormati karya para ulama, meskipun terdapat kesalahan dalam isinya. Contohnya adalah Imam Ahmad rahimahullah. Suatu ketika, beliau melihat Ishaq bin Rahuyah membawa sebuah buku yang isinya memiliki kesalahan dalam aqidah. Buku tersebut dilempar, sehingga Imam Ahmad marah. Beliau berkata, “Apakah seperti ini cara memperlakukan tulisan orang-orang baik?” Meskipun ada kesalahan pada orang yang menulisnya, tulisan tersebut tetap harus dihargai.

Adab ini menjadi cerminan sikap para ulama terdahulu yang sangat menghormati ilmu. Sayangnya, praktik seperti ini jarang ditemukan di zaman sekarang. Ada guru yang membuang tugas muridnya seolah tidak ada nilainya. Padahal, tugas tersebut seharusnya dihargai, bukan karena berasal dari murid, tetapi karena di dalamnya mungkin terkandung Kalamullah atau sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Al-Imam Ibnu Jamaah rahimahullah menyusun kitab yang dimulai dengan pembahasan keistimewaan ilmu, bab kedua tentang adab seorang alim, bab ketiga tentang adab seorang muta’alim (penuntut ilmu), dan bab keempat membahas adab dalam memperlakukan buku dan hal-hal yang serupa.

Seorang thalibul ilmi sudah mendapat kehormatan besar hanya dengan menjadi bagian dari penuntut ilmu. Ketika membaca biografi para ulama, kita sering merasa malu karena belum mampu meniru mereka. Namun, bukan berarti seseorang harus seperti mereka agar layak menjadi penuntut ilmu. Bahkan, dalam menyampaikan amar ma’ruf nahi munkar, seseorang tidak harus suci seperti malaikat tanpa dosa.

Sa’id bin Jubair rahimahullah pernah berkata, “Kalau seandainya tidak ada orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar kecuali dia bersih dari dosa, maka tidak akan ada seorang pun yang melakukannya.” Imam Malik rahimahullah juga menegaskan hal ini.

Seorang penuntut ilmu harus memperbaiki dirinya. Ini adab yang pertama disebutkan, yaitu adab kepada diri sendiri, kemudian kepada gurunya, dan selanjutnya di majelis tempat ia menuntut ilmu. Karakter seorang thalibul ilmi seharusnya mencakup kecerdasan ilmiah dan kedekatan dengan Allah Azza wa Jalla.

Imam Adz-Dzahabi rahimahullah mengatakan bahwa ilmu tidak diukur dengan banyaknya hafalan atau sanad, tetapi dari cahaya yang Allah berikan di hati seseorang. Syarat mendapatkannya harus diperoleh sesuai dengan sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, serta harus meninggalkan hawa nafsu dan kebid’ahan. Jika seseorang tidak melakukannya, meskipun ia memiliki ilmu, ilmunya dapat menjadi hujah yang memberatkannya di akhirat.

Imam Ibnu Rajab rahimahullah membagi ilmu menjadi tiga:

  1. Ilmu yang bermanfaat,
  2. Ilmu yang tidak bermanfaat, dan
  3. Ilmu yang aslinya bermanfaat tetapi tidak dimanfaatkan.

Orang yang tidak memanfaatkan ilmunya disebut dalam Al-Qur’an:

مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا…

“Perumpamaan orang-orang yang diberi Taurat kemudian mereka tidak mengamalkannya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal.” (QS. Al-Jumu’ah [62]: 5)

Penulis mengatakan, ketahuilah bahwa semua yang telah disebutkan tentang keutamaan ilmu dan para ulama adalah untuk mereka yang memiliki ilmu, beramal, dan termasuk orang-orang shalih, baik, dan bertakwa, mereka yang betul-betul ikhlas mencari pahala dari Allah serta kedekatan dengan Allah di surga-Nya.

Keutamaan ini bukan ditujukan bagi orang-orang yang belajar semata-mata untuk urusan dunia, seperti mencari kedudukan, harta, atau memiliki niat yang buruk. Ada juga orang yang belajar dengan tujuan tersembunyi, misalnya hanya ingin memiliki banyak pengikut. Pernyataan ini disampaikan karena memang banyaknya murid menjadi godaan. Sebagian orang mungkin ingin rujuk pada pendapat yang benar, tetapi karena pengikutnya banyak, ia khawatir disalahkan oleh pengikutnya. Ada juga yang merasa bahwa karena pendapatnya diikuti banyak orang, maka hal itu berarti dianggap benar.

Hal ini perlu diwaspadai. Banyaknya jumlah pengikut bukanlah tolok ukur kebenaran. Namun, bukan berarti kita sengaja membuat kajian yang aneh-aneh untuk memiliki sedikit pengikut. Seorang penuntut ilmu atau ulama harus berhati-hati menjaga niat dan keikhlasannya.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يُكَاثِرَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ يُصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ النَّارَ

“Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk mendebat orang-orang bodoh, atau menunjukkan kehebatannya di hadapan para ulama, atau mencari perhatian manusia, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka.” (HR. Ibnu Majah)

Hadits ini menunjukkan pentingnya menjaga niat dalam mencari ilmu. Tujuan menuntut ilmu bukan untuk mendebat, menunjukkan kehebatan, atau mencari popularitas. Ada fenomena orang yang sengaja menantang tokoh viral agar dirinya ikut dikenal.

Seorang alim atau ulama juga perlu mempertimbangkan manfaat dari tindakannya, seperti membantah pemikiran sesat atau memperingatkan umat. Apakah hal itu membawa kebaikan, atau justru menimbulkan simpati terhadap pemikiran sesat tersebut? Atau seseorang lebih mudah memahami syubhat daripada bantahannya.

Para masyaikh mengingatkan kita untuk menghindari penyebaran syubhat. Langkah yang perlu diambil adalah memulai dengan ta’sil, yaitu mengajarkan kaidah ilmu dan pemahaman yang benar tanpa terlalu sibuk dengan bantah-bantahan terhadap syubhat. Terkadang, sebuah syubhat tidak dikenal oleh masyarakat. Syaikh Bin Baz rahimahullah pernah diminta untuk membantah satu pemikiran yang menyimpang, tetapi beliau menjawab, “Orang-orang tidak mengenalnya, mengapa kita harus membantahnya?” Bisa jadi, setelah dibantah, orang-orang malah penasaran, mempelajarinya, dan akhirnya menjadi tertarik.

Ini menunjukkan bahwa tidak semua pernyataan perlu dijawab atau dikomentari. Seperti yang pernah disampaikan oleh salah seorang ahli hadits, Sulaiman bin Mihran Al-A’mash, yang berkata: اﻟﺴﻜﻮﺕ ﺟﻮاﺏ “Diam adalah jawaban.”

Sering kali, diam mewakili jawaban yang lebih banyak dan bijak. Seandainya seseorang berbicara atau membantah, hal itu justru dapat memperkeruh suasana. Orang Jawa memiliki peribahasa: “Tambah dodro, tambah menjadi.” Artinya, ketika seseorang dibantah, syubhatnya justru semakin berkembang.

Realitanya, ada orang yang belajar untuk menunjukkan kepandaiannya atau mengalahkan orang lain dalam perdebatan. Padahal, debat adalah langkah terakhir, dilakukan hanya jika nasihat tidak sampai kepada lawan bicara.

Al-Ajurri rahimahullah, dalam kitabnya Akhlaq al-‘Ulama, menyebutkan bahwa seseorang terkadang kehilangan akal sehatnya untuk sementara waktu. Yaitu ketika ia terlibat dalam perdebatan atau diskusi yang bertentangan dengan lawan bicaranya. Sering kali, ia tidak menyadari bahwa usahanya mempertahankan argumen justru memperburuk keadaan.

Jika seseorang yang menuntut ilmu (thalibul ‘ilm) harus melakukan perdebatan, maka, menurut Al-Ajurri, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

  1. Dari awal, niatkan debat tersebut dilakukan dengan ikhlas demi mencari kebenaran.
  2. Bersedia menerima kebenaran, meskipun itu keluar dari lisan lawan bicaranya. Katakan, “Demi Allah, saya ingin kebenaran keluar dari mulut Anda, dan saya akan mengikuti Anda.”

Debat tidak boleh menjadi ajang untuk membuktikan siapa yang lebih unggul atau mencari kesenangan ketika lawan bicara terlihat salah atau tidak mampu menjawab.

Ironisnya, banyak perdebatan agama justru dilakukan untuk menunjukkan kepandaian, kefasihan bicara, atau sekadar menjatuhkan pihak lain. Padahal, tujuan sejati dari perdebatan adalah mencari kebenaran, bukan kemenangan.

Bagaimana pembahasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian dan simak penjelasan yang penuh manfaat ini..

Download MP3 Kajian


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/54708-adab-penuntut-ilmu/